Jumat, 14 September 2012

Etika Semesta

Oleh Usta. Muhammad Mukaddar
Pembina BKPRMI Kab. Buru

Persoalan yang makin ramai dibicarakan di kalangan ilmuwan dunia saat ini adalah pelestarian alam. Hal ini menjadi perhatian serius para ilmuwan karena beberapa hal, Pertama, alam merupakan manusia dalam bentuk yang besar sehingga menjaga, memelihara dan mengetahuinya sama halnya dengan mengetahui jati diri manusia itu sendiri. Pendapat ini lebih banyak dipelopori oleh kalangan filosof yang beraliran tasawuf, seperti Ibnu ‘Arabi (w.1240 M), kelompok Ikhwa>n al S{afa> (pertengahan abad ke sepuluh masehi), Jalaludin Rumi (w.1273 M), Sachiko Murata (seorang guru besar yang berasal dari Jepang lahir pada tahun 1943 M) dan lain-lain. Kedua, alam merupakan sumber utama kehidupan bagi manusia, sehingga memelihara dan merawatnya merupakan tanggung jawab manusia secara bersama-sama. Pendapat ini dianut oleh sebagian filosof barat seperti Arne Naes (1973), Tu Wei Ming (1989), bahkan di kalangan umat hindu sendiri menganut pendapat serupa. Ketiga, alam merupakan manifestasi-manifestasi Tuhan (Allah swt) sehingga menjaga, merawat dan memeliharanya sama halnya dengan memelihara simbol-simbol Tuhan, sebaliknya merusaknya berarti merusak kebesaran Tuhan itu sendiri. Diantara yang memiliki pandangan ini adalah Mawil Izzi Dien (1990), seorang asisten Guru Besar pada Universitas King ‘Abdul ‘Aziz di Saudi. Pendapat Mawil ini juga didasarkan pada QS al-Baqarah [2]: 115 yang berbunyi
وَ لِلهِ الْمَشْرِقِ وَ الْمَغْرِبِ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ.
“dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah”.
Oleh karena itu tatkala melihat kemana saja seharusnya manusia bertasbih, karena ia sedang berhadapan dengan wajah Allah swt yang Maha Besar, Maha Indah, Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
Pandangan para ilmuwan diatas, baik dari kalangan Islam maupun non-Islam sedikit banyak memberikan gambaran bahwa memelihara dan menjaga alam merupakan kewajiban manusia bahkan kebutuhan yang tidak bisa dihindari. Pola interaksi yang dibangun antara manusia dengan alam harus berbentuk interaksi yang bersifat mutualis atau saling menguntungkan, yakni keberadaan manusia menguntungkan bumi dan begitu sebaliknya keberadaan bumi menguntungkan manusia. Persoalan selanjutnya yang muncul serta agak merusak pola interaksi antara manusia dengan alam ini adalah pandangan antroposentris, yakni satu pandangan yang menempatkan manusia sebagai satu-satunya pusat ekosistem sehingga memiliki kewenangan secara total dalam mengeksploitasi alam. Pandangan ini tidak memiliki landasan teologi (aqidah yang bersumber dari Allah swt) sehingga sikap manusia terhadap alam, apapun bentuknya tidak berimplikasi pada dosa dan pahala. Alam benar-benar ditempatkan pada strata yang paling rendah sehingga manusia bebas berbuat apa saja termasuk mengeruk kekayaan yang ada didalamnya baik berupa minyak, tembaga, perak, timah, emas, batu bara dan yang lainnya tanpa memperhitungkan akibat buruk dari perilaku tersebut.
Meskipun semua kekayaan alam ini disediakan oleh Allah swt untuk kebutuhan manusia, namun manusia perlu berpikir dan bertanya, seberapa banyak ia membutuhkannya..? karena Allah dalam al-Qur’a>n juga memberikan batasan-batasan agar manusia tidak melampaui batas atau jangan berlebih-lebihan karena Allah sangat membenci orang yang berlebih-lebihan. Innalla>ha La> Yuh}ibbul Mus}rifi>n (sesungguhnya Allah membenci orang yang berlebih-lebihan). Keserakahan manusia ini berawal dari sifat egoisme yang tinggi, yakni ingin memiliki segalanya yang ada di muka bumi ini dan merasa bangga di hadapan orang lain. Padahal seringkali dalam al-Qur’a>n Allah ingatkan bahwa semua barang berharga (harta dan lain-lain) adalah tipuan semata yang jika manusia terjerumus ke dalamnya, ia akan mengalami kesulitan untuk kembali. Oleh karena itu Islam menganjurkan agar menggunakannya sesuai kebutuhan dan sebagai fasilitas dalam mengabdi kepada Allah.
Dalam perspektif Islam alam dan seluruh entitas yang ada di dalamnya senantiasa berzikir kepada Allah swt, seperti dalam QS. Al-Isra> [17]: 44, yang artinya “langit yang tujuh, bumi dan semua entitas yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah, dan tidak ada sesuatupun melainkan semuanya bertasbih dengan memujinya, akan tetapi kamu (manusia) tidak mengerti bagaimana mereka bertasbih”. Ayat memberikan gambaran lebih luas bahwa semua yang ada di bumi ini bertasbih kepada Allah, atau dengan kata lain pohon, batu, air, tanah, emas, perak, tembaga, angin dan semua entitas yang lain senantiasa memuji Allah swt, sehingga merusaknya sama halnya dengan memutuskan hubungan zikir mereka kepada Allah, pertanyaannya “apakah manusia berdosa atau tidak, jika memutuskan zikir mereka kepada Allah.?”, boleh jadi saat ini yang rajin bertasbih dan berzikir hanya alam dan semua yang ada di dalamnya sementara manusia sudah banyak yang lupa diri, dan boleh jadi Allah tahan segala macam bentuk bencana dan azab karena zikir-zikir alam kepadaNya. Oleh karena itu manusia perlu berterima kasih kepada alam bukan merusak dan mengeksploitasinya sekehendaknya.
Islam tidak menafikan bahwa semua sumber daya alam itu disediakan oleh Allah kepada manusia, bahkan dalam al-Qur’a>n sendiri ada konsep taskhi>r  yakni penguasaan manusia terhadap alam semesta. al-Qur’a>n menganjurkan manusia untuk memanfaatkan segala sumber daya alam yang ada untuk kemaslahatan kehidupan di dunia, namun pemanfaatan tersebut hanya boleh pada batas-batas tertentu, tidak berlebihan apalagi sampai merusak alam itu sendiri. Disamping itu, sumber daya alam yang ada dalam perut bumi ini tidak hanya untuk kebutuhan manusia semata, namun bumi sendiri membutuhkannya sebagai penopang lapisan tanah agar tetap kokoh dan tetap kuat dalam mengemban amanahnya, yakni memikul manusia dan semua makhluk yang ada diatasnya selama mungkin. Oleh karena itulah maka Islam memperbolehkan manusia memanfaatkan kekayaan alam ini sesuai dengan tingkat kebutuhannya serta jangan sampai menyebabkan kerusakan yang fatal. Jika kebutuhan manusia tidak terlalu banyak, maka ambil secukupnya dan sisakan yang lain untuk kebutuhan bumi.
Hasil tambang dalam Islam merupakan harta yang bersifat umum. Tidak boleh ada seorangpun yang berani mengklaim bahwa itu miliknya. Karena jika demikian, maka ia telah berani merampas hak kepemilikan Allah swt. Karena sifatnya yang umum, maka ini hanya dimanfaatkan untuk kemaslahatan bersama, sebagaimana hadith Rasulullah saw yang berbunyi “al Na>su Sharaka>’u fi> Thala>thah, fi> al Na>ri wa al Ma>’i wa al Kala>’i” artinya: “manusia bersyarikat dalam tiga hal, api, air dan rumput”. Api yang dimaksud adalah segala hasil tambang yang diproses membutuhkan energi panas, seperti timah, minyak, tembaga, emas batu bara dan lain-lain, sementara rumput yang dimaksud adalah segala tumbuhaan/pohon yang mendatangkan manfaat bagi kehidupan manusia. Ini bentuk kekayaan alam yang bersifat milik bersama, oleh karena itu Islam tidak membolehkan dikelola secara pribadi untuk kepentingan pribadi, tapi Islam menguasakan pengelolannya langsung oleh pemerintah yang bersih untuk kemaslahatan masyarakat, dengan catatan tidak sampai menyebabkan kerusakan yang fatal. Jika ada perusahaan pribadi yang mengelolanya maka harus atas izin dan kontrol pemerintah setempat.
Disamping itu, zakat hasil tambang (ma’din) dikeluarkan untuk setiap barang hasil dari penambangan yang dilakukan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS al-Baqarah [2]: 267 yang menganjurkan setiap manusia untuk menafkahkan sebagian hasil usahanya dan sebagiabn yang dikeluarkan dari bumi untuknya. Dengan kata lain, hasil tambang emas dan perak, apabila sudah sampai satu nisab (86,92 gram emas murni) wajib dikeluarkan zakatnya sebanya 2,5 % pada waktu itu juga dengan tidak disyaratkan sampai satu tahun sebagaimana pada biji-bibjian dan buah-buahan. Hal ini sebagaimana hadith Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwasanya Rasulullah telah mengambil zakat dari hasil tambang di negeri Qabaliyah pada emas dan perak sebesar seperempat puluh (2 ½ %) pada waktu itu juga. Inilah konsep Islam yang tidak mengabaikakn hak orang lain dalam pemanfaatan hasil tambang.
Ada satu pandangan serius dari seorang cendekiawan muslim modern, yaitu Seyyed Hosein Nasr (ilmuwan Iran yang sangat menentang pandangan antroposentris) dalam bukunya Man and Nature (1976) yang mengatakan bahwa filsafat antroposentris barat selalu memandang alam ibarat perempuan pelacur yang cantik yang kapan saja ketemu bisa dimanfaatkan semaunya. Meskipun tidak banyak orang yang mengerti tentang apa itu antroposentris, namun pada praktiknya sebagian besar manusia berperilaku entroposentris yakni mengeruk kekayaan alam tanpa ampun. Yusuf Qaradlawi dalam bukunya Islam Agama Ramah Lingkungan (2002) menegaskan bahwa upaya menjaga dan mencegah kerusakan lingkungan adalah ketetapan dari Allah dan tidak dapat ditawar lagi oleh siapapun dan sampai kapanpun, oleh karena itu siapa yang dengan sengaja merusaknya maka ia akan berhadapan dengan Allah di hari akhir. Inilah prinsip teologis dalam Islam terkait dengan pelestarian alam.
Satu hal penting yang perlu menjadi pegangan bagi setiap orang terkait dengan pertambangan adalah kesadaran. Sadar bahwa emas, perak, minyak dan lain-lain tidak semata-mata untuk manusia, tapi juga buat tanah, air, pohon dan sebagainya, dan sadar tentang berapa banyak yang ia butuhkan dalam kehidupan ini, karena itulah yang disiapkan Allah swt kepadanya namun jika ia mendapat lebih maka itu hak Allah yang sedang memberi makan orang lain yang tidak mampu lewat tangannya. Jika ia tidak menunaikan hak itu maka Allah akan segera memberikan teguran kepadanya. Allah berfirman dalam QS al-Qas}as} [28]: 77,
وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللهُ إلَيْكَ، وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْأَرْضِ إنَّ اللهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ.                                                                                   
“dan berbuat baiklah kamu sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat rusak”.
 Ayat ini menganjurkan manusia untuk berbuat baik kepada siapa saja dan kepada apa saja, termasuk kepada alam semesta yang didalamnya terdapat jutaan hasil tambang. Berbuat baik itu adalah taqwa dan salah satu unsur taqwa itu adalah memberikan hak kepada yang punya, jika bumi juga mempunyai hak atas hasil tambang itu maka berikan haknya karena jika tidak maka manusia telah berbuat kerusakan di muka bumi.

Tidak ada komentar: