Oleh Usta. Muhammad Mukaddar
Pembina BKPRMI Kab. Buru
Pembina BKPRMI Kab. Buru
Persoalan
yang makin ramai dibicarakan di kalangan ilmuwan dunia saat ini adalah
pelestarian alam. Hal ini menjadi perhatian serius para ilmuwan karena beberapa
hal, Pertama, alam merupakan manusia dalam bentuk yang besar sehingga
menjaga, memelihara dan mengetahuinya sama halnya dengan mengetahui jati diri
manusia itu sendiri. Pendapat ini lebih banyak dipelopori oleh kalangan filosof
yang beraliran tasawuf, seperti Ibnu ‘Arabi (w.1240 M), kelompok Ikhwa>n al
S{afa> (pertengahan abad ke sepuluh masehi), Jalaludin Rumi (w.1273 M),
Sachiko Murata (seorang guru besar yang berasal dari Jepang lahir pada tahun 1943
M) dan lain-lain. Kedua, alam merupakan sumber utama kehidupan bagi
manusia, sehingga memelihara dan merawatnya merupakan tanggung jawab manusia
secara bersama-sama. Pendapat ini dianut oleh sebagian filosof barat seperti
Arne Naes (1973), Tu Wei Ming (1989), bahkan di kalangan umat hindu sendiri
menganut pendapat serupa. Ketiga, alam merupakan manifestasi-manifestasi
Tuhan (Allah swt) sehingga menjaga, merawat dan memeliharanya sama halnya
dengan memelihara simbol-simbol Tuhan, sebaliknya merusaknya berarti merusak
kebesaran Tuhan itu sendiri. Diantara yang memiliki pandangan ini adalah Mawil
Izzi Dien (1990), seorang asisten Guru Besar pada Universitas King ‘Abdul ‘Aziz
di Saudi. Pendapat Mawil ini juga didasarkan pada QS al-Baqarah [2]: 115 yang
berbunyi
وَ لِلهِ الْمَشْرِقِ
وَ الْمَغْرِبِ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ.
“dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu
menghadap disitulah wajah Allah”.
Oleh
karena itu tatkala melihat kemana saja seharusnya manusia bertasbih, karena ia
sedang berhadapan dengan wajah Allah swt yang Maha Besar, Maha Indah, Maha Pengampun
dan Maha Penyayang.
Pandangan
para ilmuwan diatas, baik dari kalangan Islam maupun non-Islam sedikit banyak
memberikan gambaran bahwa memelihara dan menjaga alam merupakan kewajiban
manusia bahkan kebutuhan yang tidak bisa dihindari. Pola interaksi yang
dibangun antara manusia dengan alam harus berbentuk interaksi yang bersifat mutualis
atau saling menguntungkan, yakni keberadaan manusia menguntungkan bumi dan
begitu sebaliknya keberadaan bumi menguntungkan manusia. Persoalan selanjutnya
yang muncul serta agak merusak pola interaksi antara manusia dengan alam ini
adalah pandangan antroposentris, yakni satu pandangan yang menempatkan
manusia sebagai satu-satunya pusat ekosistem sehingga memiliki kewenangan
secara total dalam mengeksploitasi alam. Pandangan ini tidak memiliki landasan
teologi (aqidah yang bersumber dari Allah swt) sehingga sikap manusia terhadap
alam, apapun bentuknya tidak berimplikasi pada dosa dan pahala. Alam
benar-benar ditempatkan pada strata yang paling rendah sehingga manusia bebas
berbuat apa saja termasuk mengeruk kekayaan yang ada didalamnya baik berupa
minyak, tembaga, perak, timah, emas, batu bara dan yang lainnya tanpa
memperhitungkan akibat buruk dari perilaku tersebut.
Meskipun
semua kekayaan alam ini disediakan oleh Allah swt untuk kebutuhan manusia,
namun manusia perlu berpikir dan bertanya, seberapa banyak ia membutuhkannya..?
karena Allah dalam al-Qur’a>n juga memberikan batasan-batasan agar manusia
tidak melampaui batas atau jangan berlebih-lebihan karena Allah sangat membenci
orang yang berlebih-lebihan. Innalla>ha La> Yuh}ibbul Mus}rifi>n
(sesungguhnya Allah membenci orang yang berlebih-lebihan). Keserakahan manusia
ini berawal dari sifat egoisme yang tinggi, yakni ingin memiliki segalanya yang
ada di muka bumi ini dan merasa bangga di hadapan orang lain. Padahal
seringkali dalam al-Qur’a>n Allah ingatkan bahwa semua barang berharga
(harta dan lain-lain) adalah tipuan semata yang jika manusia terjerumus ke
dalamnya, ia akan mengalami kesulitan untuk kembali. Oleh karena itu Islam
menganjurkan agar menggunakannya sesuai kebutuhan dan sebagai fasilitas dalam
mengabdi kepada Allah.
Dalam
perspektif Islam alam dan seluruh entitas yang ada di dalamnya senantiasa
berzikir kepada Allah swt, seperti dalam QS. Al-Isra> [17]: 44, yang artinya
“langit yang tujuh, bumi dan semua entitas yang ada di dalamnya bertasbih
kepada Allah, dan tidak ada sesuatupun melainkan semuanya bertasbih dengan
memujinya, akan tetapi kamu (manusia) tidak mengerti bagaimana mereka
bertasbih”. Ayat memberikan gambaran lebih luas bahwa semua yang ada di
bumi ini bertasbih kepada Allah, atau dengan kata lain pohon, batu, air, tanah,
emas, perak, tembaga, angin dan semua entitas yang lain senantiasa memuji Allah
swt, sehingga merusaknya sama halnya dengan memutuskan hubungan zikir mereka
kepada Allah, pertanyaannya “apakah manusia berdosa atau tidak, jika memutuskan
zikir mereka kepada Allah.?”, boleh jadi saat ini yang rajin bertasbih dan
berzikir hanya alam dan semua yang ada di dalamnya sementara manusia sudah
banyak yang lupa diri, dan boleh jadi Allah tahan segala macam bentuk bencana
dan azab karena zikir-zikir alam kepadaNya. Oleh karena itu manusia perlu
berterima kasih kepada alam bukan merusak dan mengeksploitasinya sekehendaknya.
Islam
tidak menafikan bahwa semua sumber daya alam itu disediakan oleh Allah kepada
manusia, bahkan dalam al-Qur’a>n sendiri ada konsep taskhi>r yakni penguasaan manusia terhadap alam
semesta. al-Qur’a>n menganjurkan manusia untuk memanfaatkan segala sumber
daya alam yang ada untuk kemaslahatan kehidupan di dunia, namun pemanfaatan
tersebut hanya boleh pada batas-batas tertentu, tidak berlebihan apalagi sampai
merusak alam itu sendiri. Disamping itu, sumber daya alam yang ada dalam perut
bumi ini tidak hanya untuk kebutuhan manusia semata, namun bumi sendiri
membutuhkannya sebagai penopang lapisan tanah agar tetap kokoh dan tetap kuat
dalam mengemban amanahnya, yakni memikul manusia dan semua makhluk yang ada
diatasnya selama mungkin. Oleh karena itulah maka Islam memperbolehkan manusia
memanfaatkan kekayaan alam ini sesuai dengan tingkat kebutuhannya serta jangan
sampai menyebabkan kerusakan yang fatal. Jika kebutuhan manusia tidak terlalu
banyak, maka ambil secukupnya dan sisakan yang lain untuk kebutuhan bumi.
Hasil
tambang dalam Islam merupakan harta yang bersifat umum. Tidak boleh ada
seorangpun yang berani mengklaim bahwa itu miliknya. Karena jika demikian, maka
ia telah berani merampas hak kepemilikan Allah swt. Karena sifatnya yang umum,
maka ini hanya dimanfaatkan untuk kemaslahatan bersama, sebagaimana hadith
Rasulullah saw yang berbunyi “al Na>su Sharaka>’u fi> Thala>thah,
fi> al Na>ri wa al Ma>’i wa al Kala>’i” artinya: “manusia
bersyarikat dalam tiga hal, api, air dan rumput”. Api yang dimaksud adalah
segala hasil tambang yang diproses membutuhkan energi panas, seperti timah,
minyak, tembaga, emas batu bara dan lain-lain, sementara rumput yang dimaksud
adalah segala tumbuhaan/pohon yang mendatangkan manfaat bagi kehidupan manusia.
Ini bentuk kekayaan alam yang bersifat milik bersama, oleh karena itu Islam
tidak membolehkan dikelola secara pribadi untuk kepentingan pribadi, tapi Islam
menguasakan pengelolannya langsung oleh pemerintah yang bersih untuk
kemaslahatan masyarakat, dengan catatan tidak sampai menyebabkan kerusakan yang
fatal. Jika ada perusahaan pribadi yang mengelolanya maka harus atas izin dan
kontrol pemerintah setempat.
Disamping
itu, zakat hasil tambang (ma’din) dikeluarkan untuk setiap barang hasil dari
penambangan yang dilakukan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS
al-Baqarah [2]: 267 yang menganjurkan setiap manusia untuk menafkahkan sebagian
hasil usahanya dan sebagiabn yang dikeluarkan dari bumi untuknya. Dengan kata
lain, hasil tambang emas dan perak, apabila sudah sampai satu nisab (86,92 gram
emas murni) wajib dikeluarkan zakatnya sebanya 2,5 % pada waktu itu juga dengan
tidak disyaratkan sampai satu tahun sebagaimana pada biji-bibjian dan
buah-buahan. Hal ini sebagaimana hadith Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari bahwasanya Rasulullah telah mengambil zakat dari hasil tambang di
negeri Qabaliyah pada emas dan perak sebesar seperempat puluh (2 ½ %) pada
waktu itu juga. Inilah konsep Islam yang tidak mengabaikakn hak orang lain
dalam pemanfaatan hasil tambang.
Ada
satu pandangan serius dari seorang cendekiawan muslim modern, yaitu Seyyed
Hosein Nasr (ilmuwan Iran yang sangat menentang pandangan antroposentris) dalam
bukunya Man and Nature (1976) yang mengatakan bahwa filsafat
antroposentris barat selalu memandang alam ibarat perempuan pelacur yang cantik
yang kapan saja ketemu bisa dimanfaatkan semaunya. Meskipun tidak banyak orang
yang mengerti tentang apa itu antroposentris, namun pada praktiknya sebagian
besar manusia berperilaku entroposentris yakni mengeruk kekayaan alam tanpa
ampun. Yusuf Qaradlawi dalam bukunya Islam Agama Ramah Lingkungan (2002)
menegaskan bahwa upaya menjaga dan mencegah kerusakan lingkungan adalah
ketetapan dari Allah dan tidak dapat ditawar lagi oleh siapapun dan sampai
kapanpun, oleh karena itu siapa yang dengan sengaja merusaknya maka ia akan
berhadapan dengan Allah di hari akhir. Inilah prinsip teologis dalam Islam
terkait dengan pelestarian alam.
Satu
hal penting yang perlu menjadi pegangan bagi setiap orang terkait dengan
pertambangan adalah kesadaran. Sadar bahwa emas, perak, minyak dan lain-lain
tidak semata-mata untuk manusia, tapi juga buat tanah, air, pohon dan
sebagainya, dan sadar tentang berapa banyak yang ia butuhkan dalam kehidupan
ini, karena itulah yang disiapkan Allah swt kepadanya namun jika ia mendapat
lebih maka itu hak Allah yang sedang memberi makan orang lain yang tidak mampu
lewat tangannya. Jika ia tidak menunaikan hak itu maka Allah akan segera
memberikan teguran kepadanya. Allah berfirman dalam QS al-Qas}as} [28]: 77,
وَأَحْسِنْ كَمَا
أَحْسَنَ اللهُ إلَيْكَ، وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْأَرْضِ إنَّ اللهَ لَا
يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ.
“dan berbuat baiklah kamu sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berbuat rusak”.
Ayat ini menganjurkan manusia untuk berbuat
baik kepada siapa saja dan kepada apa saja, termasuk kepada alam semesta yang
didalamnya terdapat jutaan hasil tambang. Berbuat baik itu adalah taqwa dan
salah satu unsur taqwa itu adalah memberikan hak kepada yang punya, jika bumi
juga mempunyai hak atas hasil tambang itu maka berikan haknya karena jika tidak
maka manusia telah berbuat kerusakan di muka bumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar